Minggu, 26 Februari 2012

Penerapan ERP


Penerapan ERP di Perusahaan Distribusi

Perusahaan distribusi mengalami perubahan yang sangat mendasar dalam fundamental bisnis mereka ditengah- tengah perkembangan teknologi yang semakin maju. Di Negara maju seperti di AS terjadi konsolidasi dalam berbagai segmen industri distribusi, mulai dari segi logistic, pergudangan, sampai dengan transpotasi. Penetrasi raksasa eceran  seperti Wallmart terasa sangat menggerogoti volume maupun tingkat keuntungan bisnis distribusi.  Pada saat yang sama peranan TI mulai meningkat dalam memangkas berbagai biaya interaksi, transkasi  serta komunikasi yang selama ini mennjadi momok bagi industri yang sangat strategis ini.
Fenomena ini juga menerpa industri distribusi di Indonesia. Hampir semua usaha di industri ini menerapkan berbagai otomatisasi dalam proses-proses yang utama  maupun proses pendukung. Aplikasi Enterprise Resource Planning (ERP) merupakan solusi favorit yang banyak diimplemetasikan, naum harus diakui bahwa tingfkat keberhasilan proyek ERP  pada umumnya kurang menggembirakan. Perusahaan Victoria yang berkantor pusat di Jakarta memutuskan untuk memilih solusi ERP dari perusahaan Victoria yang dikenal sebagai salah satu dari 3 pilihan utama kategori ERP. Dipimpin  oleh Direktor Operasional yang diabntu manajer IT yang cukup kompoten .
Dalam tahap selanjutnya pihak TI memperoleh beberapa staf yang dipinjamkan oleh beberapa bagian yang terlibatdalam implementasi ERP ini. Setelah proyek berjalan kurang lebih 18 bulan terjadi beberapa perkembangan yang membuat kelangsungan proyek ini menjadi tanda Tanya. Rencana anggran yang awalnya direncanakan sekitar 5-6 juta dollar ternyata sudah terlampaui, namun proyek tidak kunjung usai. Beberapa bagian operasional lain mulai mempertanyakan keuntungan/ benefit seperti yang dijanjikan diawal proyek. Pemilik perusahaan serta direksi lain mulai meragukan kemampuan solusi yang sedang di-implementasikan bahkan ada yang mengusulkan agar dilakukan “cut loss” untuk mencegah “kerugian” lebih jauh.

Dari kasus tersebut terungkap bahwa penentuan tujuan, scope, serta deliverables tidak terdokumentasi dengan baik pada awal proyek. Berbagai pihak saling berasumsi bahwa pihak lain mengerti apa yang mereka ingingkan tanpa ada proses “alignment” yang terpadu. Lebih jauh lagi hampir semua bagian operasional (non TI) merasakan bahwa proyek ini adalah bagian IT, jadi apabila proyek ini tidak berhasil, pihak IT lah yang menjadi masalah.

Terlihat jelas dalam kasus ini bahwa masa pre-planning (termasuk didalamnya pre-conditioning) tidak dilaksanakan dengan seksama. Berbagai alat Bantu sweperti Delta Matrix dengan segala komponen pendukungnya tidak dipikirkan sejak awal. Hampir semua pihak yang terlibat  berasumsi bahwa proyek ini tinggal membeli software dan hardware, lalu lakukan pelatihan teknis pasti semua akan beres. Pihak pengembang software serta konsultan tehnis yang diperbantukan sudah cukup berhasil menegrjakan tugas-tugas teknis dari proyek ini, namun ternyata kunci keberhasilan justru lebih bertumpu pada hal-hal non teknis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar