Penerapan ERP di Perusahaan Distribusi
Perusahaan distribusi mengalami perubahan yang sangat mendasar dalam
fundamental bisnis mereka ditengah- tengah perkembangan teknologi yang semakin
maju. Di Negara maju seperti di AS terjadi konsolidasi dalam berbagai segmen
industri distribusi, mulai dari segi logistic, pergudangan, sampai dengan
transpotasi. Penetrasi raksasa eceran
seperti Wallmart terasa sangat menggerogoti volume maupun tingkat
keuntungan bisnis distribusi. Pada saat
yang sama peranan TI mulai meningkat dalam memangkas berbagai biaya interaksi,
transkasi serta komunikasi yang selama
ini mennjadi momok bagi industri yang sangat strategis ini.
Fenomena ini juga menerpa industri distribusi di Indonesia. Hampir semua
usaha di industri ini menerapkan berbagai otomatisasi dalam proses-proses yang
utama maupun proses pendukung. Aplikasi
Enterprise Resource Planning (ERP) merupakan solusi favorit yang banyak
diimplemetasikan, naum harus diakui bahwa tingfkat keberhasilan proyek ERP pada umumnya kurang menggembirakan.
Perusahaan Victoria yang berkantor pusat di Jakarta memutuskan untuk memilih
solusi ERP dari perusahaan Victoria yang dikenal sebagai salah satu dari 3
pilihan utama kategori ERP. Dipimpin
oleh Direktor Operasional yang diabntu manajer IT yang cukup kompoten .
Dalam tahap selanjutnya pihak TI memperoleh beberapa staf yang dipinjamkan
oleh beberapa bagian yang terlibatdalam implementasi ERP ini. Setelah proyek
berjalan kurang lebih 18 bulan terjadi beberapa perkembangan yang membuat
kelangsungan proyek ini menjadi tanda Tanya. Rencana anggran yang awalnya
direncanakan sekitar 5-6 juta dollar ternyata sudah terlampaui, namun proyek
tidak kunjung usai. Beberapa bagian operasional lain mulai mempertanyakan
keuntungan/ benefit seperti yang dijanjikan diawal proyek. Pemilik perusahaan
serta direksi lain mulai meragukan kemampuan solusi yang sedang
di-implementasikan bahkan ada yang mengusulkan agar dilakukan “cut loss” untuk
mencegah “kerugian” lebih jauh.
Dari kasus tersebut terungkap bahwa penentuan tujuan, scope, serta
deliverables tidak terdokumentasi dengan baik pada awal proyek. Berbagai pihak
saling berasumsi bahwa pihak lain mengerti apa yang mereka ingingkan tanpa ada
proses “alignment” yang terpadu. Lebih jauh lagi hampir semua bagian operasional
(non TI) merasakan bahwa proyek ini adalah bagian IT, jadi apabila proyek ini
tidak berhasil, pihak IT lah yang menjadi masalah.
Terlihat jelas dalam kasus ini bahwa masa pre-planning (termasuk didalamnya
pre-conditioning) tidak dilaksanakan dengan seksama. Berbagai alat Bantu
sweperti Delta Matrix dengan segala komponen pendukungnya tidak dipikirkan
sejak awal. Hampir semua pihak yang terlibat
berasumsi bahwa proyek ini tinggal membeli software dan hardware, lalu
lakukan pelatihan teknis pasti semua akan beres. Pihak pengembang software
serta konsultan tehnis yang diperbantukan sudah cukup berhasil menegrjakan
tugas-tugas teknis dari proyek ini, namun ternyata kunci keberhasilan justru
lebih bertumpu pada hal-hal non teknis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar